Beberapa saat yang lalu seorang teman bercerita, mengenai kabar saudara-saudaranya yang dulu sama-sama pernah duduk di majelis ilmu untuk menimba ilmu agama. Cukup memprihatinkan, rata-rata teman yang dia sampaikan beritanya ternyata telah mengalami perubahan drastis dari keadaan mereka sebelumnya. Mereka dahulunya, adalah para pemuda yang rajin mengikuti majelis ilmu dan duduk mendengarkan ceramah agama. Bahkan, beberapa di antara mereka adalah mantan tokoh-tokoh penggerak kegiatan dakwah di kampusnya. Tragis, gelar aktifis yang dulu mereka sandang kini telah berubah drastis.
Jenggot di dagu terpangkas habis, celana yang dulu diangkat di atas mata kaki -yang menandakan pengagungan terhadap Sunnah Nabi- kini telah terjurai menyentuh bumi, sosok yang dulunya sangat menjaga hubungan dengan perempuan non mahram kini telah terseret dalam aktifitas pacaran -bahkan dengan perempuan beda agama [!]-, pemuda yang sebelumnya akrab dengan majelis ilmu agama kini telah hanyut dalam dunia lain yang melalaikan dirinya dari tujuan hidupnya. Aduhai, semoga Allah mengembalikan mereka ke jalan-Nya…
Saudaraku, mengingat akan nikmat hidayah yang diberikan Allah kepada kita merupakan perkara yang sangat penting dan banyak dilalaikan oleh manusia. Padahal, kita tahu bahwa semua kebaikan yang ada pada diri kita pada hakekatnya adalah anugerah dan karunia dari Allah ta’ala, sebuah nikmat yang harus kita syukuri dan kita senantiasa mohon kepada Allah agar meneguhkan kita di atas petunjuk dan bimbingan-Nya. Bukannya membuat kita malah menjadi sombong dan berubah menjadi hamba yang tidak bisa berterima kasih kepada Rabbnya. Perkara ini sudah sangat jelas sehingga semua orang niscaya bisa memahaminya dengan izin Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan senantiasa mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian kufur/ingkar.” (QS. al-Baqarah)
Allah ta’ala mengingatkan kita untuk senantiasa meminta tambahan petunjuk dan keteguhan agar kita bisa menjalani kehidupan dunia yang penuh dengan coba ini di atas rel yang semestinya. “Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus.” Dalam sehari semalam tujuh belas kali kalimat ini kita ucapkan, yang menunjukkan betapa besar kebutuhan kita terhadap pancaran cahaya petunjuk dan bimbingan-Nya. Kalaulah Allah tidak menunjuki kita, maka kita akan tenggelam dalam berbagai kegelapan yang berlapis-lapis. Kegelapan dosa, kegelapan bid’ah, kegelapan syirik, atau bahkan kegelapan kemunafikan yang menjalar ke berbagai sikap dan perilaku hidup kita. Sehingga dengan kegelapan yang demikian pekat itu, kita tidak bisa melihat kebenaran sebagaimana mestinya.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah adalah penolong bagi orang-orang yang beriman, Allah keluarkan mereka dari bebagai kegelapam menuju cahaya. Adapun orang-orang kafir maka penolong mereka adalah thaghut, yang akan mengeluarkan mereka dari cahaya menuju berbagai kegelapan.” (QS. al-Baqarah). Maka tidak ada orang yang selamat dari kegelapan-kegelapan ini kecuali orang yang diberi taufik oleh Allah untuk tegar dalam menghadapi ujian, tidak tergoda dan terlena oleh kepalsuan dunia, tidak goyah oleh gemerlap kemewahan, dan senantiasa mengingat bahwa hidupnya di alam dunia ini hanyalah sejenak. Yang digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam layaknya seorang pengendara yang singgah di bawah sebatang pohon kemudian pergi meninggalkannya.
Orang yang cerdas tentu tidak akan menjadikan pohon yang akan tumbang itu sebagai tempat tinggalnya, dia akan melanjutkan perjalanannya dan tidak terlena oleh sejuknya angin maupun rindangnya dedaunan. Karena perjalanannya masih jauh dan membutuhkan perbekalan yang cukup untuk mencapai tujuan dalam keadaan selamat. Saudaraku, cukuplah bagi kita firman Allah ta’ala (yang artinya), “Berbekallah kalian, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” Siapkanlah bekalmu wahai saudaraku, sebelum mulut terkunci dan sekujur tubuhmu menjadi kaku…